Masih banyak orang yang mengganggap Soekarno lahir di Blitar. Bagaimana sejarah bisa salah menyebut kota kelahiran Proklamator RI ini?
Surabaya, Jelajahnusantara.co – Bangunan rumah di Pandean Peneleh, Gang IV, Nomor 40, Surabaya, itu terlihat biasa saja. Rumah dengan cat putih berkusen dan berdaun pintu kayu yang dicat biru itu tampak sederhana. Namun siapa yang menyangka jika rumah sederhana ini menyimpan sejarah yang luar biasa.
Di sinilah Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia, dilahirkan. Sekira satu abad silam, Koesno, nama kecil Soekarno, lahir di Pandean Peneleh, Gang IV, No. 40, Surabaya—sebuah kampung dengan gang kecil yang berada di pusat kota Surabaya. Gang ini letaknya persis di depan Kali Mas. Mobil tak bisa masuk gang kecil ini, motor pun harus dituntun sejak ujung gang.
Saat itu, ayah Soekarno, Raden Soekemi Sosrodihardjo, dipindahtugaskan dari Singaraja, Bali, sebagai guru di Sekolah Rakyat Sulung Surabaya pada 1900. Soekemi datang ke Surabaya bersama istrinya, Ida Ayu Nyoman Rai Srimben, yang tengah mengandung Soekarno. Mereka pergi ke Surabaya dengan menggunakan kapal. Saat itu, kapal yang mereka tumpangi berlabuh di Kali Mas, tak jauh dari rumah ini. Soekarno sendiri lahir pada 1 Juni 1901.
”Saya menduga sejarah kelahiran Bung Karno itu memang sengaja dikaburkan untuk menjauhkan Soekarno dengan massanya. Orde Baru khawatir kalau Soekarno disebut lahir di Surabaya yang mempunyai jumlah penduduk besar bisa menimbulkan gejolak.”
Namun sejatinya, Soekarno tak lama tinggal di rumah ini. Karena Soekarno kecil kemudian tinggal bersama dengan kakeknya, Raden Hardjokromo, di Tulungagung Jawa Timur. Baru kemudian pada 1915, Soekarno yang telah menyelesaikan pendidikannya di ELS kemudian melanjutkan ke HBS di Surabaya.
Ia dapat diterima di HBS atas bantuan seorang kawan bapaknya yang bernama H.O.S. Tjokroaminoto. Tjokroaminoto bahkan memberi tempat tinggal bagi Soekarno di pondokan kediamannya. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu, seperti Alimin, Musso, Dharsono, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis.
Sementara Blitar, yang selama ini sering disebut-sebut tempat kelahiran Proklamator RI ini, adalah tempat penugasan terakhir Soekemi Sosrodiharjo ketika dipindahkan dari dari Mojokerto dan dipromosikan menjadi penilik pada 1917.
Keterangan bahwa Soekarno terlahir di Surabaya ini berdasarkan dari buku-buku biografi tentang Soekarno, antara lain Soekarno sebagai Manusia (1933) dan Kamus Politik (1950).
Tiga terbitan ensiklopedi juga mendukung argumen tersebut, masing-masing:
- Ensiklopedia Indonesia 1955, NV Penerbitan W. Van Hoeve Bandung
- Ensiklopedia Indonesia terbitan PT Ikhtiar Baru (1986)
- Ensiklopedia Nasional Indonesia,Penerbit Delta Pamungkas Jakarta (1997)
Ada juga beberapa buku lain seperti:
- Pengukir Jiwa Soekarno karangan Soebagijo IN
- Bung Karno Putra Sang Fajar karangan Solichin Salam
- Ayah Bunda Bung Karno karangan Nurinwa Ki. S Hendrowinoto dkk
- Riwayat Ringkas Penghidupan dan Perjuangan Ir. Soekarno karangan Nasution M.Y
Dalam semua buku-buku terbitan itu bahkan sampai mencantumkan jika Soekarno lahir di Pandean, Peneleh Gang IV, Nomor 40, Surabaya.
Tak hanya itu, sejumlah penulis asing juga kerap menuliskan Soekarno sebagai kelahiran Surabaya. Para penulis asing biasanya mengutip sumber arsip di Leiden, Belanda, sebagaimana yang tertulis dalam ijasah dan berkas perkara Soekarno ketika diadili. Sebagian lagi merujuk pada buku Soekarno: Autobiography as Told to Cindy Adams (1996) tulisan Cindy Adams dan Soekarno Mitos dan Realitas tulisan Bob Herring (1986).
Terkait sejarah yang menyebut Soekarno lahir di Blitar sebenarnya merujuk dari data yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Sejarah ABRI pada 1967. Data ini yang kemudian dirujuk oleh Sekretariat Negara. Data ini kemudian dikutip di buku-buku sejarah, terutama terbitan di atas 1967.
Ihwal mengapa bisa sampai keliru soal sejarah tempat kelahiran Soekarno, Peter A. Rohi, seorang jurnalis senior yang tinggal di Surabaya, mengatakan, hingga kini ia belum mengetahui apa penyebab pastinya. Peter yang juga ikut terlibat dalam pelurusan sejarah tempat lahir Soekarno hanya bisa menduga, bahwa itu terkait dengan kepentingan pemerintah Orde Baru saat itu.
“Saya menduga sejarah kelahiran Bung Karno itu memang sengaja dikaburkan untuk menjauhkan Soekarno dengan massanya. Orde Baru khawatir kalau Soekarno disebut lahir di Surabaya yang mempunyai jumlah penduduk besar bisa menimbulkan gejolak. Apalagi arek-arek Suroboyo dikenal punya jiwa patriotis,” kata Peter.
Rumah tempat kelahiran Soekarno kini ditempati oleh seorang warga bernama Jamilah beserta keluarganya. Ia membeli rumah ini sekitar 1990 lalu seharga Rp16 juta. Ia sendiri tak menyangka, jika rumah yang ditempatinya kini adalah rumah kelahiran Proklamator RI.
“Baru sekitar 2009 lalu banyak peneliti yang mulai mendatangi rumah ini,” kata Jamilah.
Rumah ini juga sudah dijadikan sebagai bangunan Cagar Budaya oleh Pemerintah Kota Surabaya sejak 2013 lalu oleh Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Namun meski sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya, kepemilikan rumah seluas 5×14 meter ini masih atas nama Jamilah.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya Agus Imam Sonhaji mengatakan, sejak 2014 Pemerintah Kota Surabaya sebenarnya sudah berusaha membeli rumah kelahiran Bung Karno ini. Pemkot waktu itu bahkan sudah melakukan tawar menawar dengan pihak ahli waris. Namun menurut Agus, pemilik rumah menetapkan harga yang terlalu tinggi yaitu sekitar Rp5 miliar.
“Padahal sesuai dengan appraisal nilainya hanya Rp700 juta, tapi pihak ahli waris meminta jauh di atasnya,” kata Imam.
Alotnya proses jual beli rumah tempat lahir Soekarno ini, disesalkan oleh Ketua DPRD Kota Surabaya Armuji. Ia mengatakan, ada kepentingan sejarah yang harus diselamatkan oleh Pemkot Surabaya, sehingga tak bisa dinilai dengan appraisal yang biasa.
Sebaliknya, Peter malah menyesalkan pemilik rumah yang menetapkan harga terlalu tinggi. Menurutnya, tak seharusnya pemilik rumah mematok harga yang terlalu tinggi karena rumah itu untuk kepentingan bangsa dan negara.
“Klise memang. Tapi saya sebagai penganut ajaran Soekarno memegang teguh ajaran Soekarno soal rela berkorban untuk bangsa dan negara,” kata Peter.
Naskah: Amir Tedjo
Foto: Budi. W
Sumber: Reppler.com