JAKARTA – Tidak kalah dengan Raja Ampat, Bali atau Labuan Bajo, Tanjung Lesung juga memiliki panorama eksotis yang akan membuat para wisatawan betah berlama-lama di sana. Tidak saja destinasi wisata bahari yang ditawarkan dari Tanjung Lesung, tetapi satu paket dengan wisata budaya seperti kampung tradisi Suku Badui. Di sana juga ada Taman Nasional Ujung Kulon dan Anak Gunung Krakatau.
Namun meskipun Tanjung Lesung tidak jauh dari Ibu Kota Jakarta, tepatnya di Provinis Banten, potensi wisata tersebut tidak banyak diketahui banyak para wisatawan. Akses jalan yang tidak terbuka menuju ke sana dituding sebagai biang terpendamnya potensi destinasi wisata Tanjung Lesung.
Sukurlah, jalan tol Serang-Panimbang, Pandeglang, sudah masuk perencanaan nasional. Presiden Jokowi bahkan sudah menjanjikan akan selasai hingga tahun 2019. Dipastikan, jika sudah terbuka akses jalan tol Serang-Panimbang, perjalanan mencapai Tanjung Lesung hanya ditempuh 60 menit saja dari Serang, Ibukota Provinsi Banten.
“Tidak hanya KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) Tanjung Lesung, tapi mengarah ke Badui, Kabupaten Lebak. Ada juga Taman Nasional Ujung Kulon dengan badaknya, taman hutan raya, atau Anak Gunung Krakatau, semua akan dikemas jadi objek wisata yang sangat menarik,†ujar Bupati Pandeglang Irna Narulita.
Menurut Irna, proyek tol tersebut merupakan program pemerintah pusat untuk kemajuan Pandeglang. Harapannya, dari 6 juta kunjungan wisatawan untuk target nasional, Pendeglang diproyeksikan bisa menyumbang 1 juta wisatawan jika tol Serang-Panimbang selesai dikerjakan.
Seperti diketahui, sejak tahun 2015, Tanjung Lesung ditetapkan sebagai KEK. Program nasioal ini dikeroyok oleh 11 kementerian, mulai dari sarana air bersih, sanitasi, fasilitas karyawan menuju ke rumah susun, pekerjaan, hingga jalan tol.
Suasana di Pantai Tanjung Lesung.
Suasana di Pantai Tanjung Lesung. Sigit Purnomo, salah satu investor di Tanjung Lesung Leisure Industry, optimis jika jalan tol Serang-Panimbang selesai dikerjakan akan membawa dampak perubahan besar di Tanjung Lesung sebagai kawasan ekonomi khusus. “Orang Jakarta itu haus akan wisata, mereka sudah sumpek, ditambah lagi macet minta ampun. Jadi kalau ada akses terbuka ke Tanjung Lesung, saya kira kawasan ini akan jadi tambang ekonomi dari sektor wisata,†katanya.
Promosi Tanjung Lesung terus didengungkan. Mulai dari Pemkab Pandeglang dan Pemprov Banten, hingga oleh masyarakat di sana. Menurut Irna Nurulita, komunitas anak muda pun ikut mempromosikan potensi ini sebelum jalan tol benar-benar terealisasi.
“Sebelum saya memimpin di sini, tidak dianggarkan (untuk promosi). Makanya saya kelabakan, slot tidak ada, padahal promosi harus dilakukan. Untunglah banyak bantuan semua pihak, ada komunitas anak muda, blogger, instagram, visit Pandeglang, semua ambil gambar objek wista yang cantik lalu dipromosikan,” katanya.
Kata Irna, promosi juga kadang tidak hanya oleh masyarakat lokal, masyarakat dari kabupaten lain pun turut serta karena dampak ekonominya besar untuk Provinsi Banten secara keseluruhan. Lebih jauh Irna Nurulita mengungkapkan, jika harapannya ke depan Pandeglang ingin menggabungkan industri wisata bahari dengan agraris sehingga menjadikan daerah agro wisata.
“Wisata itu sektor padat karya. Makanya terus melakukan promosi untuk tujuan ini. Kami juga buat film ‘Love in Tanjung Lesung™, sehingga masyarakat bisa datang berduyun-duyun. Ini punya pilihan cerdas, dari pada jauh-jauh ke Labuan Bajo,†tutur Irna Nurulita.
Di tempat terpisah Ketua Indonesian Tourism Forum (ITF) Johnnie Sugiarto mengatakan, saatnya bagi pemerintah untuk mengembangkan industri wisata bahari sebagai implementasi dari Poros Maritim yang digagas Presiden Joko Widodo. Dengan kegiatan wisata bahari, kata Johnnie, secara otomatis akan memberdayakan masyarakat pesisir. Pasalnya, selama ini masyarakat pesisir masih termarginalkan.
“Selain tingkat kesejahteraan yang rendah, tingkat pendidikan anak-anak pesisir juga rendah. Untuk itu, memberdayakan potensi ekonomi maritim seperti wisata bahari, secara otomatis akan memberdayakan masyarakat di sana. Saya punya event Miss Marine Tourism, ini salah satu cara mengembangkan industri wisata bahari, katanya.
Menurut Johnnie, masyarakat Indonesia sejak ratusan tahun sudah terlanjur berorientasi pada daratan, sehingga berdampak pada kebijakan. Ia beri contoh soal wisata kapal pesiar. Di luar negeri, terutama Eropa, ongkosnya sangat mahal, yakni antara US$ 5.000- US$ 8.000.
Sementara jika wisata dengan pesawat udara, biayanya jauh lebih murah. Tetapi yang terjadi di Indonesia sebaliknya. Wisatawan yang menggunakan jasa kapal Pelni (Pelayaran Nasional Indonesia) biayanya sangat murah. Sementara jika berwisata dengan penerbangan, misalkan Garuda Indonesia, biayanya jauh lebih mahal dibanding Pelni. Namun anehnya, masyarakat tetap memilih berwisata dengan penerbangan.
Contoh lain soal pembangunan rumah. Di luar negeri, rumah-rumah mewah dibangun menghadap ke laut. Sementara di Indonesia, yang terjadi kebalikannya. Rumah yang dibangun menghadap ke jalan lebih mahal ketimbang menghadap ke laut. “Namun saat ini tingkat kesadaran dan orientasi masysrakat kita pada laut terus meningkat, karena Poros Maritim itu. Nantinya masyarakat pesisir akan kecipratan dari kebijakan ini. Karena jika orang pergi ke laut, pasti melintasi pesisir dan masyarakat di sana bisa berjualan makanan, souvenir dan lainnya, sehingga terjadi pertumbuhan ekonomi, jelasnya. (*/dnl)