Jambi, Jelajahnusantara.co – Supriyadi, sudah sebulan ini berkutat dengan literatur yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dan tumbuhan (etnobotani). Itu dia lakukan untuk mengisi kekosongan di tengah industri pariwisata yang terpuruk akibat pandemi virus corona Covid-19.
“Sudah hampir sebulan ini nihil, tak ada kunjungan turis ke Muarajambi,” kata Supriyadi, pemandu wisata di kompleks percandian Muarajambi ketika dihubungi, Senin (6/4/2020).
Selain menjadi tour guide atau pemandu wisata, Supriyadi juga sebagai Ketua DPC Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Kabupaten Muaro Jambi. Untuk mengisi kosongnya job sebagai pemandu wisata, kini waktu Supriyadi didedikasikan untuk mengumpulkan ragam literatur etnobotani.
Dari literatur etnobotani yang telah dikumpulkan itu, kemudian ia catat kembali. Bahkan tak hanya berhenti mencatat saja, tapi ia juga harus menarasikan kembali dan dikemas menjadi cerita menarik. Setelah menjadi cerita menarik, hal tersebut nantinya diyakini bisa menjadi daya tarik wisatawan.
“Ini narasi tentang kekayaan etnobotani di Muarajambi nanti bisa menjadi nilai jual dan daya tarik wisata, dan bisa kembali mendatangkan wisatawan saat pandemi berakhir,” kata dia.
Menurut Ecen, begitu sapaan akrab Supriyadi, di Desa Muara Jambi, tempat tinggalnya itu, selain memiliki kekayaan peradaban berupa tinggalan kompleks percandian Muarajambi, juga memiliki kekayaan kebudayaan. Masyarakat mempunyai hubungan yang erat dengan tanaman yang tumbuh di sekelilingnya.
Bahkan, saking eratnya hubungan manusia dan tumbuhan kata dia, oleh masyarakat di desanya itu tumbuhan dituangkan dalam syair seloko, sebuah tradisi lisan yang diwariskan masyarakat secara turun-temurun.
Misalnya, seloko yang berbunyi “Kencur idak jelingo idak”. Inilah adalah seloko yang memiliki maksud untuk menolak secara halus jika ditunjuk, misalnya untuk mengemban suatu jabatan.
“Ini menarik dan harus kita narasikan, kalau tidak ada dinarasikan kita khawatir kedepan kalau ada etnik baru masuk akan menggerus keberadaan seloko. Syair seloko di Muarajambi menyelipkan tanaman, ini berarti nenek moyang kami sudah mengenalkan tanaman lewat syair-syair seloko,” katanya menjelaskan.
Tak hanya mengumpulkan literatur kebudayaan masyarakat, kata dia, para pemandu di Muarajambi juga mencari kegiatan untuk pemasukan pendapatan alternatif dari sektor lain. Salah satunya mereka lakukan dengan mengembangkan tanaman hidroponik dan berkebun.
Mencari Alternatif Pendapatan
Sudah sebulan pagebluk Covid-19 menghantam sektor pariwisata di kompleks percandian Muarajambi, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi. Ambruknya sektor wisata akibat pandemi itu membuat pemandu wisata atau tour guide di sana kehilangan pendapatan dan pekerjaan.
Kondisi hilangnya pemasukan dari sektor wisata ini dirasakan oleh pemandu wisata. Tercatat saat ini ada sekitar 10 orang pemandu wisata resmi yang menggantungkan pendapatannya pada sektor wisata di Muarajambi.
Sejak penutupan kompleks percandian Muarajambi dampak dari virus corona pada pertengahan Maret 2020, mereka tak ada kegiatan. Untuk mengisi kekosongan kegiatan dan mencari alternatif pendapatan lain, para pemandu wisata itu tak keluar desa dan mulai mengembangkan hidropornik.
Dalam pengembangan tanaman sayuran hidroponik yang mereka beri nama “Menaponik” itu mereka menanam sawi dan kangkung. Dan kedepan akan menyusul tanaman sayur lainnya yang potensial dikembangkan.
Dan juga untuk sementara waktu ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, para pegiat wisata di Muarajambi ada yang kembali ke kebun, mereka mengaku tetap produktif mencari alternatif sumber pendapatan lain.
Sementara itu, Ditjen Kebudayaan yang berencana akan membantu para pekerja budaya dan museum yang terdampak secara ekonomi oleh pandemi virus corona itu disambut baik oleh pemandu wisata dan pegiat budaya di Muarajambi.
“Kami menyambut baik inisiasi pemerintah yang membantu. Kawan-kawan pemandu wisata dan tenaga lokal pemugaran sudah mengisi borang. Kami berharap pelaksanaannya benar-benar tepat sasaran,” kata dia.
Peradaban Itu Hening
Sejak ditutup hingga batas waktu yang belum ditentukan akibat masa pagebluk itu, kompleks percandian Muarajambi itu terlihat sepi dan hening. Tak ada pedagang dan pengemudi becak yang biasanya mondar-mandir di jalan setapak di kawasan itu.
Juga kayuhan sepeda dari pengunjung yang biasa bervakansi berhenti sejenak. Jejak peninggalan peradaban abad 7-12 Masehi itu memang benar-benar beristirahat menenangkan diri sejenak dari ingar bingar orang.
Ratusan sepeda yang biasanya siap sedia disewa untuk mengantarkan wisatawan keliling di kompleks percandian Muarajambi itu sekarang hanya teronggok di masing-masing teras rumah pemiliknya. Begitu pula dengan becak montor (bentor) yang juga berhenti beroperasi.
Berdasarkan data dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi, tingkat kunjungan wisatawan yang datang ke Muarajambi terus mengalami penurunan. Penurunan itu terjadi akibat dampak meluasnya pandemi virus corona.
Jumlah pengunjung di kompleks percandian Muarajambi pada Januari 2020 berjumlah 15.671 wisatawan nuasantara dan 63 wisatawan mancanegara. Sedangkan pada bulan Februari 2020, tingkat kunjungan wisatawan nusantara sebanyak 6.607 orang dan wisatawan mancangera 117 orang.
Sementara itu, pada bulan Maret 2020 dari tanggal 1-16 atau sebelum penutupan sementara kawasan cagar budaya itu, tingkat kunjungan wisatawan nusantara tercatat sebanyak 4.285 orang dan wisatawan mancanegara hanya 17 orang.
Sementara itu, kompleks percandian Muarajambi hingga kini masih ditutup untuk kunjungan. Penutupan yang telah diperpanjang dari 16-29 Maret 2020 itu kembali diperpanjang hingga batas waktu yang belum ditentukan.
Langkah penutupan cagar budaya untuk umum tersebut dilakukan selain menindaklanjuti surat edaran dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, juga untuk mengantisipasi pandemi virus corona yang kemungkinan bisa saja dibawa wisatawan.
“Meski ditutup, pengamanan tetap 24 jam nonstop. Semua petugas pengamanan tetap masuk seperti biasa,” kata Kepala BPCB Jambi, Iskandar M Siregar.
Artikel telah tayang di: klik