Jakarta, (Jelajahnusantara.co) – Proyek revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM) yang digagas Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mendapat penolakan dari sejumlah pelaku seni yang ada di Jakarta. Dasar penolakan mereka adalah rencana dibangunnya hotel mewah di pusat kesenian ibukota tersebut.

Konsep pembangunan hotel yang dikerjakan PT Jakarta Propertindo (Jakpro), sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur No.63/2019, kata mereka, telah melenceng dari perspektif awal pendirian TIM oleh Guburnur Ali Sadikin pada tahun 1968.

Keberadaan hotel mewah berbintang lima itu tentu akan mengganggu aktivitas kesenian. Secara tidak langsung, kehadiran hotel akan melengserkan perlahan-lahan ruang-ruang kebudayaan yang lebih terbuka.

Untuk diketahui, proyek revitalisasi ini menghabiskan dana Rp1,8 triliun. Sumber dana revitalisasi ini pun berasal dari Penyertaan Modal Daerah (PMD) DKI Jakarta tahun 2019 sebesar Rp200 miliar.

Dana ini akan diperuntukkan bagi dua tahap pembangunan TIM. Pada tahap pertama yaitu tahun 2019, akan dilakukan pembangunan gedung baru beserta fasilitas penunjang dengan alokasi anggaran Rp501,5 miliar.

Selanjutnya, pada tahun 2020, revitalisasi dilakukan terhadap bangunan yang sudah ada dan penataan ruang terbuka hijau dengan alokasi dana sebesar Rp1,3 triliun.

Foto: ist

Tolak Lewat “Pernyataan Cikini”

Dalam diskusi bertajuk “PKJ-TIM Mau Dibawa Kemana?” di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Rabu (20/11), para seniman antara lain: Radhar Panca Dahana, Taufiq Ismail, dan Mogan Pasaribu, dan Abdul Hadi WM, mengemukakan penolakan lewat “Pernyataan Cikini”.

Pernyataan itu dititipkan buat Gubernur Anies dengan tujuan mendengarkan apa yang menjadi keluhan dan kegelisahan para seniman. Isinya antara lain: pertama, menolak pelibatan Jakpro dalam mengurus atau mengembangkan seluruh fasilitas/isi kompleks Taman Ismail Marzuki.

Kedua, menolak jika revitalisasi dalam bentuk apa pun tidak melibatkan secara langsung pendapat dan atau kerja para seniman dan seniwati yang ada di dalamnya.

BACA JUGA  Peduli Lingkungan Hidup, LCS Padma Bagikan Ratusan Kantong Ramah Lingkungan

Ketiga, menolak upaya pembangunan dalam ruang kebudayaan yang luas, termasuk membangun manusia unggul, tanpa pemahaman komprehensif dan sosialisasi di kalangan yang adekuat makna kebudayaan yang sebenarnya.

“Taman Ismail Marzuki ini adalah rumah kita. Kita harus pertahankan! Bagaimana hubungannya, membangun kebudayaan dengan membangun hotel bintang lima di TIM”, kata mereka, mengutip melekpolitik.com.

Diskusi tersebut, selain menghadirkan para seniman, juga melibatkan pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yakni: Taufik Azhar, anggota Komisi B DPRD DKI yang membidangi urusan ekonomi, dan Dadang Solihin, Deputi Gubernur Jakarta Bidang Budaya dan Pariwisata.

Sastrawan Abdul Hadi WM dari Akademi Jakarta (AJ) dalam kesempatan itu pun meminta agar Pemprov segera mengembalikan suasana TIM seperti sedia kala ketika ada Teater Arena, Wisma Seni, dan ruang-ruang seni tempat para seniman berdiskusi.

“Apakah nasi sudah jadi bubur? Kalau sudah jadi bubur, sekarang mau dibikin apa? Sebaiknya, kembalikanlah suasana seperti dulu,” katanya.

Foto: ist

Taufik Ismail Kecewa

Taufik Ismail, salah satu tokoh penting dari dalam sejarah TIM di masa lalu, mengaku terkejut ketika melihat pagar-pagar putih yang berjejer dari pintu masuk TIM hingga wilayah belakang di Gedung Graha Bhakti Budaya, tanda sedang dimulainya proyek revitalisasi.

“Memasuki TIM dan melihat pagar-pagar putih di mana-mana, saya luar biasa terkejut!” ujarnya dengan nada suara menahan emosi sambil terisak.

Dalam pengakuannya, ia merasa kecewa karena apa yang terjadi 60 tahun lalu berbeda yang akan dikerjakan pemerintah saat ini.

Kala itu, Gubernur Ali Sadikin menyambut dengan baik pembangunan TIM dan secara ideologis terpisahkan dari kepentingan politik, apalagi bisnis.

Namun karena biaya kerja para seniman di tempat yang telah disulap dari kebun binatang ini mengalami defisit, maka pemerintah mensubsidi anggaran bagi berlangsungnya kegiatan berkesenian.

BACA JUGA  Populasi Komodo Terus Bertambah di Taman Wisata KBS

“Saya merasa titik air mata saya. Goncangan besar bagi kita ini. Bagus itu, saudara-saudara marah-marah. Ini semua harus dilawan. Janganlah tidak berlanjut. Jangan sampai. Zaman saya sudah berbeda. Saya hanya bisa berdoa. Membantu dengan doa,’ ungkapnya.

Seniman lanjut usia itu pernah menulis sebuah catatan kebudayaan berjudul “Penguasa, Politik, dan Seniman” dalam majalah Horison edisi Juli 1968.

Dalam tulisannya, Taufik Ismail mengatakan, Gubernur Ali Sadikin pada 9 Mei 1968 menekankan bahwa dalam pembinaan kehidupan kebudayaan di ibukota, politik tidak boleh lagi mengintervensi seperti di masa pra-Gestapu.

Dengan itu, seperti ungkapan Umar Kayam, sesungguhnya Gubernur DKI Jakarta waktu itu telah memperjelas dibukanya sebuah periode baru yang lebih menyegarkan dalam kehidupan kultural di ibukota.

Berangkat dari asumsi itulah, Gubernur Ali Sadikin pun menutup kran bagi masuknya aparat pemerintah dalam kepengurusan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang didirikan pada 17 Juni 1968.

“Biarlah saudara-saudara yang betul-betul seniman kreatif mengisinya, saudara-saudara yang berkecimpung dalam hal ini tanpa makan gaji pemerintah, saudara-saudara yang benar-benar berkarya di bidang ini. Kami sebagai pamong bertugas mengadakan infrastrukturnya,” kata Bang Ali.

Penulis: Daniel Deha
Foto: Istimewa
Sumber: klik