Liputan kali ini di wilayah Po****, masih di Jawa Timur. Aku diberi kebebasan untuk mencari berita apa aja, asal masih terkait dengan mitos dan ghaib (budaya). Kebetulan aku bertemu dengan seseorang yang menurutku sangat menarik untuk kujadikan sebagai narasumber. Aku membuat janji untuk bertemu di kota tempat ia tinggal.
Kami berangkat berlima, 2 fotografer yaitu Hita dan Ho, aku, mbak Umarmi, istri Ho yang sangat tertarik dengan budaya Nusantara dan Hercu, teman main yang tertarik dengan sesuatu yang berkaitan dengan dunia ghaib juga.
Biasanya, setiap liputan kami hanya berdua, aku dan Hita. Karena narasumber kali ini istimewa, jadilah teman-teman yang lain ikut.
Narasumber ini adalah anggota sebuah band Pagan Metal. Mungkin buat yang awam dengan dunia musik metal aku ulas dikit tentang aliran musik Pagan menurutku.

Pagan metal adalah genre musik yang berkiblat dari eropa. Merupakan pengembangan dari music heavy metal yang ekstrim dan merujuk pada musik folk. Biasanya mengangkat tema keluhuran budaya tradisonal setempat terutama dalam hal kepercayaan. Kadang disertai penggunaan instrumen yang tidak biasa atau memakai bahasa kuno. Kemudian diadopsi pecinta musik dengan aliran yang sama di Negeri ini dengan mengangkat tema budaya, mitos bahkan ghaib.
Setahuku, para pecinta musik ini memang kerap menyanyikan lagu dengan bahasa ibu. Mengangkat hal-hal ghaib tanah leluhur dan sejenisnya. Nah, dia adalah salah satu “artis” aliran ini, selain itu dia memiliki kelebihan, yaitu melukis sketsa.

Tidak terlalu menarik perhatian jika dia hanya menggambar sketsa biasa. Yang menjadi luar biasa adalah ia melukis sketsa para danyang dan lelembut ditanah Jawa secara detil dan hidup. Lagu-lagu yang dinyanyikan juga merupakan karya sendiri.

BACA JUGA  15 Tips Fotografi Landscape

Aku pernah membaca syair yang ia tulis, tentang seorang gadis cantik ‘penunggu’ sebuah tempat. Judulnya Kidung Lara****. Syairnya menurutku indah sekali. Meski mungkin beberapa dari kalian tahu, bagaimana sih musik metal dinyanyikan. Beda nyanyian antara Death Metal dan Black Metal, terletak pada cara menyanyikannya. Death Metal cenderung nge-growl atau kayak orang ngorok gitu, kalau Black Metal cenderung scream melengking.
Nah,dia, sebut saja mas Andi ini cenderung melengking dan mirip suara kucing. Meski begitu syair tentang ‘si cantik’ itu, serasa merasuk ke dalam diri. Pernah saat ia menyanyikannya di sebuah event, seolah ‘si cantik’ itu datang dan menyaksikan pertunjukan disebelahku. Tapi saat itu aku mencoba berpikir jika aku hanya salah lihat.

Okey, balik ke liputan. Kami berangkat siang hari, perjalanan nggak jauh hanya sekitar 1 jam. Kamipun tiba. Mas andi menyambut kami dengan sangat ramah. Bahkan istrinya memasak untuk kami. Setelah berbincang kesana kemari, bertanya tentang banyak hal mengenai lukisan, kamipun beristirahat di teras, sambal bercanda.

Sejak awal datang, Mbak Nia istri mas Andi, terus memandangku dengan tersenyum, pandangannya tak berkedip. Sempat aku membatin, ‘kenapa ngeliatin gitu sih?’ tapi keramahan mereka membuat itu terabaikan.
Seolah tahu, mas Andi sesekali juga ikut tersenyum dan mengerling pada istrinya seperti memberi kode untuk menahan diri. Rasanya ingin tanya ‘Apa sih mbak?!’ tapi kuurungkan.
Kami ngobrol bareng lagi, aku berusaha cuek.

“Mbak, boleh nanya?”Mbak Nia tiba-tiba berucap saat aku duduk sedikit terpisah dari yang lain.
“Apa mbak?” jawabku.
Dia menatap, tersenyum, seolah ingin membelai rambutku tapi diurungkannya.
“Sampean lucu, ini yang muda ya mas?”ujarnya pada suaminya.

BACA JUGA  Lanjutan: KOLEKSI

Mas Andi mengangguk-angguk, “Iya kayaknya,”
“Pantesan, yo iki mas, lucu, ayu, apik, jadi gampang dibohongi,” imbuh mbak Nia sambil tertawa, seolah menggodaku.
Jengah, aku ikut tersenyum kecut, ‘duh, mereka ngomong apa sih?’ ucapku dalam hati.

“Wes ah ma, bingung itu loh mbaknya,” ujar mas Andi.
Mbak Nia beranjak mendekatiku.
“Apik sih ya, makanya awet muda terus.”
Mbak Nia terus berkata sendiri, aku semakin bingung dan tak paham.

“Gak terburu-burukan?” tanyanya.
“Enggak sih mbak, cuma nggak tahu yang lain,”
“Ya udah, sampean tinggal sini aja, lainnya biar pulang,” guraunya dengan suara keras agar yang lain juga mendengar.

Yang lain tertawa, hanya Hita yang seolah mendengus kesal. Sepertinya dia ingin buru-buru pergi dari tempat itu. Mbak Nia melirik. Mas Andi masih bercengkrama dengan yang lain. Hita sesekali terlihat mencuri dengar percakapanku dengan mbak Nia.

“Mbak, tahu nggak, saya ada titipan buat jenengan loh,” ujarnya.
“Apa itu mbak?” tanyaku penasaran.
“Ngg, mbaknya sholat dulu deh, belum sholatkan?”
aku mengangguk.
“Ya udah, abis sholat kesini lagi ya,”
Maksudnya ruang tengah tempat kami berbincang. Aku mengangguk dan menuruti kata-katanya.

Selepas sholat, aku menghampiri Mbak Nia, dia sudah menungguku diruang itu, teman-teman yang lain masih asik berbincang dengan mas Andi di teras depan yang asri.
“Ada apa mbak?”
“Dik, sampean asli mana?” tanya mbak Nia setelah aku duduk didepannya yang bersila di karpet.
“Suroboyo mbak,”
“Nggak, bukan, yang sama sampean nggak pakai bahasa Suroboyoan,”
Aku bengong, nggak tahu maksudnya.
“Ngg, mbak Umarmi ama Ho sih dari Blora,” ujarku, agak bingung.
Mbak Nia ketawa,
“Bukan dik, maksud mbak bukan mereka, tapi… ”
“Hita dan Hercu?”
Mbak Nia diam tak menjawab dan memperbaiki sikap duduknya.
“Suka aku dik sama sampean, lucu,”
Aku nyengir, makin nggah ngeh. Dari tadi aku bersikap biasa saja. Nggak melucu atau berusaha bikin yang lain tertawa, apanya yang lucu?
“Ya sudah, nggak papa, duduk saja,”
Aku memperbaiki sikap duduk dan menunggunya bicara lagi dengan jantung yang mulai berdegup lebih kencang.

BACA JUGA  SIAPA?

Kulihat mbak Nia mengambil sikap meditasi, diam dan mengatur nafas, aku mengamatinya dan menerka-nerka apa yang akan dilakukannya.

“Nuwun sewu, jenengan sinten?” Tanyanya.
Aku baru akan membuka mulut ketika mbak Nia meletakkan ibu jari di bibirnya sebagai pertanda agar diam.

Lagi-lagi aku menurut.
Tiba-tiba aku merasa tubuhku berat. Lama-lama semakin berat, aku menundukkan tubuhku dengan posisi bersila. Rasanya seperti membawa beban sangat berat dikedua bahuku.
Ada rasa seperti sengatan listrik yang menyelimuti. Aku berkeringat.
“Allah!” desisku lirih.

To be continued….

Penulis: Pipit Ika