“Kak, kira-kira, kalau sabtu depan ikut aku mau nggak?”
Kris, pacar sohibku tiba-tiba bertanya saat kami asyik nongkrong di cafe langganan. Kebetulan tempatnya pas didepan kantor.

“Kemana?”
“Kakak cari liputan mitos dan hantu-hantu gitu kan?”
“Apaan sih, mitos dan budaya tau,”
“Miriplah kak, mau nggak?”
“Kemana dulu Kris, emang Selly nggak kerja?”
“Kakak aja ama mas Hita, kita bertiga aja,”
Aku jadi agak penasaran. Selly masih asyik menikmati roti bakarnya. Hita sibuk dengan kamera, tapi aku yakin kupingnya dengerin kalimat si Kris.

“Emang kemana sih?”
“Aku dapat bahan buat tulisan kak, kayaknya masuk juga loh buat liputan,”
“Tentang apa?” sahut Hita.
Tuh kan, dia dengerin obrolan kami meski keliatan cuek.

“Jadi ni ceritanya tentang tetanggaku mas, dia abis beli mobil,”
“Lah terus, beli mobil mau dijadiin berita?” sambarku tak sabar.
“Yaelah, nggaklah kak, selow, kalem, dengerin dulu,”
Aku seruput es teh didepanku. Kris melanjutkan kalimatnya.

“Jadi, mobil dia ini In****, second dia belinya. Sejak awal beli, dia cerita kalau banyak yang aneh-aneh yang terjadi,”
“Kayak gimana?” tanyaku antusias.
“Tiba-tiba lampu mobil nyala sendiri pas tengah malam,”
“Korslet tuh kabel lampunya,” tukas Selly kemudian ketawa , aku juga, hehe.
“Apaan sih, enggak itu aja, bel tiba-tiba bunyi, pas satu hari, mereka nabrak truk yang parkir, tau nggak? Mobilnya nggak apa-apa, body truknya yang ringsek, dah gitu anaknya yang kecil selalu bilang kalau ada orang didalam mobil itu, padahal kata ibunya, nggak ada siapa-siapa,”
terang Kris panjang lebar.
Selly diam, ketawanya berhenti.
“Serem ih yank,” ujarnya bergidik.

Sahabat yang usianya jauh dibawahku ini emang paling ogah sama hal-hal berbau mistis.
Hita mendengarkan penuh konsentrasi, pokoknya kalo dah nyerempet ghost-hood, dia fokus.
“Trus, apa yang mau diliput Kris? Nggak ditanyain ke orang pinter aja tuh, Kyai gitu, kalo emang ada somethingnya, kan lebih baik dibawa ke mereka,” ucapku.
“Nah itu dia kak, aku dah sampaikan itu ke si mbak yg punya mobil, tapi dia bilang sesuatu yang bikin aku jadi penasaran juga, makanya aku mau ajak kakak, hehe”

“Apaan?”
“Eh, kakak kenal mbak Nana?”
“Siapa? Nana dalam? Hahaha,” aku bermaksud bercanda.
Males ah ngomong serius mulu, apalagi tentang setan.

“Serius kak, kenal nggak?”
“Siapa sih Kris, nggak kenal!”
“Nah, dia tau mas Hita ama kakak,”
“Maksudnya?”
“Jadi pas aku bilang, mbak Nana mending ke orang pinter deh, mungkin bisa diusir tuh kalo ada apa-apanya di mobil mbak, nah, dia jawab, iya, emang aku udah bilang ke pak Kyai, beliau baru datang ntar hari sabtu malam, tapi sebelumnya, bawa temen kamu yang namanya Hita sama Ika ke rumahku dong Kris, penting, gitu dia bilang,” terang Kris.

Mau tak mau, kami jadi heran juga, mbak Nana ini siapa? Kok bisa tahu kami padahal nggak pernah bertemu sebelumnya.
“Dah, kita berangkat aja Ka, biar nggak penasaran juga,” sahut Hita cepat.
Aku mengangguk, memang jadi penasaran sih. Mbak yang kita nggak kenal tapi tahu kami, mobil berhantulah, rasanya, penasaran ini sudah sampai ubun-ubun.
Setelah sepakat untuk berangkat ba’da dhuhur, kami kembali ke rumah masing-masing.
========
Hari H, Selly beneran nggak mau ikut. Alasannya sih kerja, tapi perasaan kerjanya setengah hari. Yah sudah, mungkin dia memang bener males dengan hal-hal kayak gini.
Naik mobil Kris kami berangkat ke daerah Kr***, Sidoarjo.
Sebelum ke rumah mbak Nana, kami mampir ke sebuah petilasan yang sepi. Aku lupa namanya petilasan apa, warga desa nampaknya sangat menjaga tempat itu. Meski sepi, terlihat sangat bersih dan terawat. Hanya ada 4 pasak yang tersebar di 4 sudut, selebihnya ruangan kosong beratapkan langit. Pasak itu tampak setelah menaiki tangga setinggi 1 meter, Hita mencoba ‘merasakan’ aura tempat itu. Aku mencoba snapshot dengan kamera yang kubawa. Syukur-syukur bisa motret penampakan meski siang hari bolong.
Tapi tetap, attitude kujaga, salam dan berlaku sopan. Bagaimanapun, unggah ungguh dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung kupegang erat. Meski mungkin apa yang kuliput tidak sesuai dengan apa yang kuyakini. Bismillah aja, wallahualam.
Sekitar 30 menit kami disitu, Kris sudah tak sabar ingin bertemu mbak Nana.
Tak lama, kami tiba didepan rumah tanpa pagar. Rumah yang teduh, tidak terlihat sebuah mobil, mungkin ada dalam garasinya.

BACA JUGA  SELENDANG MILIKMU

“Assalamualaikum, mbak Nana, ni Kris mbak,”
Kris mengetuk pintu rumah dan mengintip ke dalam melalui jendela kaca.
Pintu dibuka. Seorang wanita paruh baya, berjilbab putih membuka pintu,

“Wa’alaikumsalam, eh, Kris! Loh, alhamdulillah, ini mbak Ika dan mas Hita ya, ya Allah, sudah saya tunggu-tunggu, monggo masuk mbak, Subhanallah, ya pake baju ini, rambut ya panjang gini, oalah, akhirnya ketemu,”
Kris, aku dan Suhit saling berpandangan, meski bingung, aku mencoba tersenyum,
“Ayuk masuk, silahkan duduk, tapi mohon maaf, lesehan nggak papa ya, soalnya ni untuk persiapan pengajian nanti malam, itu loh Kris, pak Kyai minta diadakan pengajian, yang ‘itu’ loh, tahu kan?” Mbak Nana bicara dengan hati-hati.

Saat pertama melangkahkan kaki memasuki rumah, terasa getar aneh tiba-tiba merasuk ke dadaku. Tergambar seorang gadis berambut panjang, duduk di tengah mobil dengan kaki terikat, rantai!.
Tak kuhiraukan, mungkin hanya sekedar imajinasi gak jelas gara-gara kepanasan di jalan. Aku malah lebih penasaran, gimana mbak Nana bisa tahu kami bahkan sebelum kami bertemu.

“Mbak Nana, mohon maaf sebelumnya, mbak bisa tahu kami darimana ya?” tanyaku langsung setelah kami duduk.

“Lah ya mbak, aku loh ya bingung, kok iso ngerti seh karo mbak Ika, kan nggak pernah tak ajak kesini sebelumnya,” imbuh Kris dengan dicampur bahasa jawa ngoko.

Mbak Nana masih memegang tanganku, matanya menatap, adem banget, mbak Nana sepertinya orang yang sangat lembut hati.

“Ngapunten sebelumnya mbak Ika, Kris, mas Hit, nuwun sewu, bukan bermaksud pamer, tapi, gimana ya ngomongnya?” mbak Nana tersenyum penuh arti.

“Ya ngomong aja loh mbak, tinggal buka mulut dan bersuara, ahahha,” canda Kris, nampaknya dia dah akrab dengan mbak Nana sekeluarga.

“Lah yo Kris, hehe, sungkan e mau cerita. Eng, jadi gini, inshaa Allah, katanya mbah-mbah, saya ini ada kelebihan berkenaan hal ghaib. Nah, sudah 3 hari ini saya mimpi jenengan, ya pakai baju ini, ya kayak gini, rambut panjang kayak sampean gini, persiiiiiss, dalam mimpi itu, saya dikasih tahu kalau sampean-sampean ini temannya Kris, makanya saya tanya sama Kris, lah kok beneran ada nama tersebut.” Mbak Nana bercerita dengan ramah.
Aku manggut-manggut memahami, beberapa kali, akupun pernah mengalaminya. Seolah telah mengenal dan melihat orang yang baru pertama kutemui.

BACA JUGA  Permudah Pelanggan, Lion Group Luncurkan Mesin Penjual Tiket Otomatis

“Kok bisa mbak?” tanya Hita.
“Lah ya itu, saya juga nggak paham, mimpi itu datang setelah saya krentheg (niat) ingin meminta bantuan pak Kyai tentang mobil itu, saya dah coba komunikasi sama ‘dia’ tapi dia …,”
Mbak Nana masih melanjutkan kalimatnya saat aku merasa badanku sangat tidak enak. Aku berusaha fokus pada ucapan mbak Nana. Tapi suara mbak Nana tak terdengar.

Yang terasa hanya sedih, sepi, sendiri, takut, astaghfirullahal’adziim, apa ini!
Berkali-kali kuucapkan istighfar.

Allahu Akbar, beratnya kepalaku, kulafalkan takbir tiap kali sesuatu yg menekan itu kurasakan.
Hita rupanya tak memperhatikan. Kulihat dia dan mbak Nana beranjak ke garasi, entah apa yang akan dilakukan Hita, tiba-tiba aku merasakan takut padanya,

“Tunggu!” teriakku tiba-tiba. Kris menatapku dengan tajam, butiran keringat mengalir perlahan, panas, gerah sekali seluruh badanku.

“Apa Ka? Ada apa?” Tanya Suhit, rupanya dia terkejut.
Mbak Nana melihat ke arahku, seolah mafhum, dia beranjak ke dapur.

“Duduk!” Bentakku pada Hita.
Dia menurut, aku menatap Kris,
“Kris, pegangin tangan kiriku please, pastiin aku tetap sadar,” aku berbisik tertahan.
Ada sesuatu dalam dada dan kepalaku yang tertahan, entah kenapa, aku tahu itu bukan aku.
Tak pernah aku merasakan ini, tapi seperti otomatis, perasaanku seolah bergerak sendiri.
Sambil berusaha menjaga kesadaran, aku berbisik dalam hati akan menyampaikan apa yang ‘dia’ ingin sampaikan.
Aku tak ingin ‘dia’ mengambil kesadaranku.

“Hit, dengar aku, dia ada di bangku tengah, tepat ditengah-tengah, sebelah kakinya dibelenggu, ya Allah, kasihan, iya, kasihan, siapa? Kasihan, iya, kamu,”

aku mengatakan kalimat-kalimat itu dengan sadar namun tak beraturan, seolah dia mengajak bicara dan aku berusaha menyampaikan. Semuanya keluar begitu saja meski berusaha ku kontrol. Terengah-engah aku mencoba menguasai pikiran dan ucapan yang kadang tak sinkron.
Tangan Kris kuremas kuat, rasanya ingin teriakk, tapi aku bersikeras tak ingin melemah dan dikuasai.
Dalam benakku kembali terbayang jelas, perempuan berbaju putih yang menangis sedih. Sebelah kakinya diborgol dengan rantai, dia ingin keluar dari mobil itu tapi tak bisa.
Rasa sedih, sepi, kemarahan dan keinginan, bercampur aduk memenuhi rongga dadaku. Aku tahu ini perasaan ‘dia’.Tentang pengusiran yang akan dilakukan pak Kyai, ‘dia’ tahu.
Dia tak mau, dia takut tak punya tempat, ada kesakitan juga, samar, entah karena apa.

“Jangan diusir, kasihan, kasihan, aku sedih, kasihan dia,” aku sadar apa yang aku racaukan, tapi tak bisa menahan mulutku untuk diam.
Airmataku meleleh. Bagaimana ini? Kesedihannya terlalu besar. Amarahnya bercampur dengan amarahku. Manusia laknat mana yang memanfaatkan makhluk ini dan merantainya?!
Ingin rasanya mulut merutuk, tapi aku hanya bisa membiarkan kesedihan itu mengalir lewat airmata.

BACA JUGA  Lanjutan: KOLEKSI

Mbak Nana datang membawa segelas air,
“Mbak Ika, sudah, saya paham, ternyata ini maksudnya, dia ingin bicara melalui jenengan, dia memang sangat mirip dengan jenengan, postur dan rambutnya, Subhanallah,”
Mbak Nana memegang pundakku
Aku menatapnya, memohon, tanpa bersuara.

“Ya sudah, kalo itu mau ‘mu’, tapi, tetap saya tidak mau ‘kamu’ ada dirumah ini, kasihan anak-anak saya, mereka takut” ujar mbak Nana, ia menggenggam tangan sambil menatap mataku tajam, entah kenapa, mata lembut itu kali ini membuatku takut.
Aku menggeleng, padahal aku tak ingin menggeleng, ada yang sesak dan buatku ingin teriak.
Malu, takut membuat risau mbak Nana sekeluarga dan tak ingin kalah dari’nya’, aku berucap dalam hati dengan sedikit emosi,

‘Kamu mau bilang apa? lekas bilang, jangan begini, jika terus melangut, aku nggak janji tidak akan sakiti kamu atau bantu, tenanglah, aku akan coba bicara,’ ujarku dalam hati meski kepayahan menahan sesuatu yang serasa akan meledak keluar.
Aku sendiri tak tahu sedang bicara dengan siapa, spontan saja, seolah memang harus kulakukan, seperti ada yang mengingatkan agar aku bicara lebih tegas ‘padanya’.
Keringatku semakin deras, dia berontak, aku tahan, mbak Nana membantuku, Kris dan Suhit juga. Mereka merapal doa, aku takut pada mereka semua, tapi yang paling kurasa menakutkan adalah mbak Nana.
Panas kurasakan ditubuh bagian kiriku, kalimat istighfar kupaksakan keluar dari mulut, “Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah, Allah!” teriakku.

Perlahan, tubuhku mulai terasa berangsur-angsur normal.
Mbak Nana meminumkan segelas air.
Kemudian memelukku.
“Alhamdulillah,” ucapnya.
Aku menatapnya dan menceritakan apa yang ‘terasa’ begitu jelas tergambar selama tubuhku memanas.

‘Dia’ berasal dari tempat yang sangat jauh, dipaksa berada dimobil itu dengan tujuan menjadi ‘penjaga’, seorang dukun yang menempatkannya atas permintaan pemilik mobil pertama. ‘Dia’ ingin pergi, tapi kakinya dibelenggu. Tak pernah suka dengan pemilik mobil sebelumnya, baru dengan pemilik sekarang dia merasa nyaman, dia suka, menurutnya, mbak Nana harum dan manis baunya.

Mbak Nana rupanya memiliki kelebihan sejak kecil dan mengasahnya selama di pesantren, tapi tidak lagi setelah berumah tangga.

“Terima kasih mbak Ika, kasihan memang makhluk itu, gara-gara kebodohan manusia yang berharap pada selain Tuhan, hingga jadi begini, tapi rasa kasihan itu bukan alasan untuk mengijinkannya ada disini. Inshaa allah, nanti kami coba sempurnakan dia, kita carikan tempat tinggal,” ucapnya.

Setelah mengambil beberapa foto, kami berpamitan, diperjalanan, kulirik pergelangan tangan Kris yang membiru. Tapi dia menyetir dengan tenang, “Maaf ya Kris,” ucapku
“Woles kak, dah biasa, hehe,” jawabnya.
Hita tersenyum, “Wah, kayaknya kamu bakal naik level liputan yg lebih wow lagi kalo kayak gini Ka, lusa ikut aku ke Malang, kita liputan pemakaman Jaran Kepang,”
Aku terdiam, masih terngiang dikepalaku, ucapan ‘dia’ yang tak kukatakan pada yang lain,
“Tolong aku,”
Wajahnya …
… mirip aku.

Penulis: Pipit Ika