JELAJAH NUSANTARA – Malam itu, Halaman Taman Budaya Jawa Timur bagaikan arena penuh magis. Sorak-sorai dan tepuk tangan bergema di antara penonton yang terpukau oleh pesona Sandur, kesenian asli Bojonegoro yang menggenggam erat jiwa penonton. Sandur ini bukan sembarang pertunjukan.

Di bawah arahan sutradara Agus Sighro Budiono, Grup Kesenian Sandur Kembang Desa dari Sanggar Sayap Jendela membawa keunikan yang jarang ditemukan. Panggung dibuat sedemikian rupa, empat sudutnya menghadap ke timur laut—suatu inovasi yang memberi dinamika tersendiri. Lima lakon dipentaskan dengan apik: Germo, Cawik, Balong, Pethak, dan Wak Tangsil. Lakon-lakon ini menyelami beragam aspek kehidupan masyarakat Bojonegoro, menyentuh hati setiap penonton yang hadir.

Ada yang tak biasa di malam itu. Siti Aisyah, seorang mahasiswa berusia 27 tahun, berbicara dengan penuh semangat, “Sandur ini beda, bukan cuma soal tariannya, tapi ceritanya relevan. Rasanya seperti diajak masuk ke dunia kita sehari-hari, tapi dengan cara yang indah.”

Nada suaranya mengandung kekaguman. “Ini cara yang luar biasa untuk memperkenalkan budaya Bojonegoro ke generasi muda seperti saya,” lanjutnya. Aisyah bukan satu-satunya yang terpesona. Budi Santoso, pria 45 tahun yang sudah lama bergelut di dunia seni, turut memberikan pandangannya, “Saya bangga.

Kembang Desa berhasil menghidupkan kembali esensi budaya lokal dengan cara yang segar. Ini penting sekali untuk menjaga kearifan lokal agar tidak hilang begitu saja.”

Lalu ada Maya Lestari, seorang ibu rumah tangga yang datang bersama keluarga kecilnya. Wajahnya sumringah ketika anak-anaknya ikut bersorak saat lakon berlangsung.

“Anak-anak saya menikmati sekali, mereka tertawa, mereka terpesona. Sandur ini mengenalkan mereka pada budaya dengan cara yang menyenangkan,” ujarnya sambil tersenyum. Baginya, acara seperti ini harus sering diadakan. “Kita perlu lebih banyak acara seperti ini, bukan cuma hiburan, tapi juga pendidikan,” tambahnya.

BACA JUGA  Di Balik Arca Joko Dolog: Kisah Mediumisasi dan Energi Gaib

Suara tepuk tangan tak berhenti. Setiap adegan Sandur disambut dengan riuh rendah. Tak ada jeda bagi kekaguman. Para penari dan aktor begitu piawai memainkan peran mereka. Gerakan yang halus, wajah yang penuh ekspresi, mereka menghayati peran dengan sepenuh jiwa. Bukan sekadar gerak, tapi ada cerita di balik setiap langkah.

Sandur ini lebih dari sekadar pertunjukan, lebih dari sekadar hiburan. Di sini, ada misi besar—melestarikan budaya yang mungkin sudah tergerus oleh zaman. Sandur adalah cara Bojonegoro bercerita tentang dirinya, tentang kearifan lokal yang masih ingin bertahan di tengah arus modernitas.

Malam itu, di Halaman Taman Budaya Jawa Timur, harapan untuk melestarikan budaya lokal semakin nyata. Pertunjukan seperti ini menjadi pengingat, bahwa kita harus selalu merangkul warisan budaya kita, menjaga identitas di tengah globalisasi yang kian deras.

Di balik sorotan lampu dan suara gending yang mengalun lembut, Sandur berdiri tegak sebagai simbol bahwa budaya adalah akar yang tidak boleh tercabut. Dan malam itu, di bawah langit Jawa Timur yang cerah, Sandur kembali hidup, menyuarakan keindahan lokal yang patut dikenang.

Penulis: Budi
Foto: Budi