Pati (jelajahnusantara.co) – Tim dari Institute for Syriac Christian Studies (ISCS) berksempatan untuk hadir dalam acara “Ambengan Agung: Babad Desa Banyutowo”, di Greja Injili tanah Jawa (GITJ). Acara ini diselenggarakan baru pertama kali, tujuannya untuk menapak tilasi jejak perjuangan Kyai Tunggul Wulung (1800-1885 M).
Seperti diketahui, Kyai Tunggul Wulung lahir dengan “asma timur” (nama muda), Raden Tanda Kusuma, konon masih trah Mangkunegaran, karena ia masih cicit Pengeram Sambernyawa (alias GKPAA. Mangkunegara I), pendiri Puri Mangkunegaran.
Sebelum “Lengser keprabon madeg panditha”, Sang Kyai yang juga dipanggil Ki Ageng Tunggul Wulung ini, pernah menjabat Demang di wilayah Kediri, namanya Raden Atmadirdja.
Karena keterlibatannya pada perang Dipanegara (1825-1830 M), akhirnya Sang Kyai meninggalkan jabatannya dan tinggal di Juwana, Pati. Ia menyamar sebagai seorang “guru ngelmu” dengan julukan Amat Dullah atau Abdullah. Ketika akhirnya toch ketangkap Belanda juga, Atmadirdja divonis untuk menjalani hukuman pembuangan ke Manado, menyusul Pangeran Dipanagara.
Namun dalam perjalanan itu, Sang Kyai berhasil meloloskan diri lagi, kembali ke wilayah Kediri, dan menjadi pertapa di Gunung Kelud. Sudah menjadi takdir hidupnya, akhirnya di gunung itu Sang Kyai bertemu dengan Ratu Adil yang sebenarnya, yaitu Isa Al-Masih.
Setelah melalui proses pencarian yang panjang, termasuk bertemu dengan Mbah Collen, tokoh “ngelmu Kristen” di Ngoro, pada akhirnya Sang Kyai dibabtis oleh Tuan Jellesma di Mojowarno.
Kisah ini sekilas diungkap oleh Dr. Bambang Noorsena dalam bentuk tembang Dhandhang Gula dan Megatruh di Gereja lama yang dibangun pertama di desa Banyutowo, tempat Ambengan digelar.
Acara “Ambengan Agung” ini diawali dengan doa dan berbagai pertunjukan seni sebelum prosesi keberangkatan dari depan gereja baru menuju ke gereja tua yang telah berusia lebih dari 100 tahun.
Dari sana Ambengan Agung dimulai. Arak-arakan penduduk desa disambut dengan “seribu tumpeng” yang sudah disiapkan dari rumah-rumah warga. Ambengan pun digelar.
Diawali dengan doa dan narasi tentang perjuangan Kyai yang juga dikenal dengan nama Ki Ajar Gunung Kelud ini, diikuti secara khusyu’ oleh hadirin. Narasi panjang tapi sarat makna dibawakan dalam bentuk tembang Macapat oleh Pendeta Sukadana, yang juga penulis buku tentang Kyai Tunggul Wulung.
Di tengah-tengah narasi panjang tersebut, beberapa babak kisah Sang Kyai selama kelana jiwanya di Jawa Timur dibawakan oleh Dr. Bambang Noorsena dalam bentuk tembang pula.
Acara yang juga dihadiri utusan dari misi Gereja Menonite dari Amerika Serikat ini, sangat menarik dijadikan wisata religi. “Acara ini akan kami gelar setiap tahun agar gereja menggali sejarah dan akar kontekstualnya, yang bagaimanapun juga tidak bisa dilepaskan dari sosok Ki Ageng Tunggul Wulung”, kata Pendeta Sukadana.
“Bukti bahwa Kyai Tunggul Wulung bukan hanya milik umat Kristen, namanya kini diabadikan menjadi nama jalan di kota Pati”, kata Glenn Tapidingan, koordinator ISCS yang hadir dalam acara Ambengan Agung ini. “Malahan, makamnya juga dikunjungi banyak umat Islam”, tambahnya.
Jelang Maghrib, acara ditutup dengan formula trinitaris yang diajarkan oleh Kyai Tunggul Wulung: “Rama Allah, Putra Allah, Roh Suci Allah, teteluné tunggal sawiji” (Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus, ketiganya yang esa). “Lêmah sangar, aku angkêr, upas racun dadi tåwå, idi Gusti manggih slamêt selaminyå” (tanah dan kayu angkêr serta racun, kiranya hilang kuasanya, dengan izin Tuhan, selamat semuanya).pr/red
Sumber: klikl