Yogyakarta, jelajahnusantara.co -Seorang penjahat dengan pisau menyerang tiga orang. Seorang terjatuh, dua menghindar. Pada adegan lain, seorang perempuan sambil menggendong anak diganggu empat orang. Seorang penyerang terjatuh sambil mengelak dari pukulan tongkat. Dua penjahat lainnya menunjuk ke arah perempuan.
Di bagian lain, dua orang berkelahi. Seorang memegang pedang. Di bagian lain juga ada adegan perkelahian tapi tanpa senjata.
Itulah beberapa kasus kejahatan di Jawa Kuno yang terbaca dalam Relief Karmawibhangga di Candi Borobudur.
Menurut arkeolog UGM Slamet Pinardi dalam “Upaya pencegahan Kejahatan dalam Jaman Mataram Kuno” termuat di Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV, selain mengajarkan hukum sebab akibat, relief itu juga dapat dianggap sebagai upaya mengurangi dan mencegah kejahatan pada masanya.
Selain dari relief, kejahatan dan pencegahannya juga tersirat dalam prasasti. Sayangnya, menurut Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa, seringkali tindakan kriminal itu disebut dengan istilah Jawa Kuno yang tak sepenuhnya dipahami. Hanya sebagian yang diketahui maksudnya dengan baik terutama setelah dituliskan dalam kitab hukum.
Boechari dalam “Perbanditan di Dalam Masyarakat Jawa Kuno” termuat di Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti menjelaskan di prasasti tindak pidana disebut sukhaduhkha. Paling tidak, ada tiga penanganan bagi para pelanggarnya: denda, hukuman mati/badan, dan disumpahi dengan kata-kata yang menyeramkan (kutukan). Kejahatan dalam sukhaduhkha yang dikenai denda misalnya wankai kabūnan, wākcapala, hastacapala, amuk, dan amungpang.
Wankai kabunan artinya “mayat yang terkena embun.” Naskah Hindu, Sārasamuccaya, menjelaskan perbuatan itu mendapat denda akibat kelalaian atas terjadinya pembunuhan di malam hari. Sampai-sampai pembunuhan itu tak diketahui siapa pun sehingga mayatnya terkena embun di pagi hari.
“Sedang tindak pidana pembunuhannya sendiri tentunya mendapat pidana yang sangat berat,” jelas Pinardi.
Berdasarkan undang-undang Kutaramanawadharmasastra pasal astadusta, pembunuh hukumannya mati. Seperti Lembu Sora, Patih Daha era Majapahit, dituntut pidana mati setelah membunuh Kebo Anabrang, perwira Kerajaan Singhasari dan Majapahit dalam Pemberontakan Ranggalawe.
Sementara wākcapala artinya memaki-maki atau mengumpat. Perbuatan ini dikenai denda tergantung tingkatan atau derajat orang yang memaki dan dimaki. Pada masa Majapahit, perbuatan ini dijelaskan dalam kitab Āgama pasal 220 sampai 225.
Misalnya, seorang ksatria memaki brahmana didenda dua tali; waisya (petani) memaki brahmana didenda lima tali; sedangkan sudra dihukum mati.
“Kenakanlah pidana mati oleh sang prabhu, pedagang yang memaki brahmana,” tulis Slamet Muljana dalam Perundang-Undangan Majapahit, mengutip kitab Āgama.
Tindak pidana lain yang dikenai denda adalah hastacapala(perkelahian dengan pukul-memukul atau baku hantam), mamuk (mengamuk membabi buta hingga membahayakan orang lain), dan amungpang atau mamungpang (merampas, merampok, dan memperkosa).
Sanksi denda dalam bentuk emas. Supratikno mencatat, dalam Prasasti Patakan (sekira abad ke-11 M) disebutkan jumlah terkecil adalah ma (satu), ka (lima), su (sekitar 592,51 gram). Sedangkan Prasasti Panggumulan (926 M) menyebut yang terbesar adalah ma (lima), ka (satu), su (sekira 3812,9 gram).
Prasasti yang menyebutkan kasus kejahatan contohnya Prasasti Mantyasih dari 829 saka (907 M). Ceritanya, Rakai Watukura Dyah Balitung memberikan anugerah sima kepada lima orang patih Mantyasih secara bergantian. Mereka berjasa, salah satunya, menjaga keamanan di jalanan Desa Kuning.
“Dari keterangan itu memberi kesan bahwa sebelumnya jalanan di Desa Kuning tak aman dan banyak gangguan perampok atau penjahat lainnya,” tulis Boechari.
Prasasti Kaladi dari 831 Saka (909M) menyebut kasus pembegalan menimpa pedagang dan nelayan yang lewat hutan Araņan. Hutan ini memisahkan Desa Gayām dan Pyapya. Sementara Prasasti Rukam dari 829 saka (907 M) menyebut dua istilah samahala. Sesuai konteks kalimatnya, yang pertama berarti para petani. Kedua, kelompok orang yang suka mengganggu keamanan.
Pelecehan Seksual
Masyarakat lampau juga punya cara mengatasi kasus pelecehan seksual. Paling jelas pada masa Majapahit diatur dalam prasasti dan undang-undang Agama.
Prasasti Cangu (1358 M) berisi aturan tempat penyeberangan di Bengawan Solo. Namun, ia juga memuat keterangan tersirat hukuman berat bagi pelaku pelecehan seksual yang disebut strisanggrahana.
Sementara dalam teks undang-undang Agama, ada bab paradara artinya istri orang lain atau perbuatan serong. Di sini disebutkan berbagai jenis hukuman dan denda bagi laki-laki yang mengganggu perempuan.
Pemerkosa istri orang lain didenda sesuai kedudukan sang perempuan dalam kasta. Perempuan kasta tinggi, dendanya dua laksa; kasta menengah, dendanya selaksa; dan kasta rendah, dendanya lima tali.
Arkeolog Puslit Arkenas, Titi Surti Nastiti dalam Perempuan Jawa menjelaskan, penentu jumlah denda adalah raja dan penerima denda adalah si suami. “Jika sedang memperkosa tertangkap basah oleh sang suami, pemerkosa boleh dibunuh,” tulisnya.
Prasasti juga memuat kasus penyelewangan pajak. Misalnya, Prasasti Palepangan dari 828 Saka (906 M) dan Prasasti Luitan dari 823 Saka (901 M). Salah satunya dilakukan oleh penarik pajak di desa (nayaka). Beberapa kali si nayaka lalai menghitung luas sawah petani. Akibatnya rakyat membayar pajak lebih besar dari seharusnya. Sayangnya, prasasti itu tak menyebutkan sanksi apa yang diberlakukan pada pelaku.
Pengganggu Sima
Selain menindak pengganggu ketenteraman sosial, ada pula tindak pidana terkait aturan sima. Jenis pelanggaran itu tidak rinci. Di prasasti hanya disebut dengan istilah yang mempunyai arti sama, yaitu mengganggu. Beberapa istilah yang biasa digunakan adalah umulahulah atau ulahula, langgana, mungkil-mungkil, dan angruddha.
Sejumlah prasasti juga menyebut daftar orang-orang yang dilarang mengganggu sima dan sanksinya. Meski memang sima tak boleh diganggu siapa pun. Dalam prasasti disebutkan: wang kabeh mageng admit sakwirnya. Lalu diikuti dengan rinciannya yang terdiri atas caturasrama (brahmacari, grhasta, wanaprasta, biksuka), caturwarna (Brahmana, Ksatrya, Waisya, Sudra), pejabat desa (apinghay, akurug), dan terutama oleh raja dan mantri.
Pelakunya diancam dengan kutukan mengerikan. Dalam prasasti, kutukan ditemukan di bagian sapatha.
Prasasti Pangumulan A dari 824 saka (902 M) misalnya. Di sana ada ancaman bagi yang merusak, mengusik tanah perdikan di desa Pangumulan, yang termasuk wilayah Puluwati. Itu terutama bagi yang melenyapkannya. Ia akan menemui pañcamahāpātaka, lamanya seperti bulan berada di angkasa menerangi dunia.
Pinardi menjelaskan pañcamahāpātaka adalah lima dosa besar dan hukumannya. Prasasti Mantyāsih dari 829 Saka (907 M) menjelaskan lima dosa besar itu adalah membunuh seorang brahmana, melakukan lamwukanyā (?), durhaka kepada guru, membunuh janin, berhubungan dengan orang yang melakukan empat kejahatan di atas.
Pinardi mengatakan sanksi kutuk biasanya akan dibacakan pemimpin upacara (sang akudur) sambil memperlihatkan tindakan simbolik dengan memotong leher ayam di atas landasan watu kalumpang dan membanting telur di atas watu sima. Terkadang juga sambil menaburkan abu.
Itu seperti yang ada dalam Prasasti Balitung II (Prasasti Wukajana) dari 830 Saka (908 M): “barangsiapa berani mengusik sima di Wukajana ibarat kepala ayam yang putus dari badannya dan takkan kembali lagi. Ia ibarat telur yang hancur lebur takkan kembali utuh. Ia juga bakal bernasib seperti kayu yang jadi abu karena hangus terbakar.”
Ditambah lagi dengan ancaman “bila orang yang bersalah pergi ke hutan ia akan dipatuk ular. Bila pergi ke ladang, ia akan disambar petir, meski hari itu tak hujan. Bila datang ke sungai agar dibelit tuwiran (binatang air). Selanjutnya, ia akan menanggung lima dosa yang sangat besar pañcamahāpātaka.”
“Tampaklah ada upaya mencegah kejahatan yang akan ditujukan terhadap keabsahan prasasti, karena prasasti tersebut berlaku sepanjang zaman (dlaha ning dlaha, red),” jelas Pinardi.
Sumber: klik