“Bunuh saja aku!! Kalau aku tidak PKI (Pakai Kolor Item)” ucap Soesilo Toer (82) Adik kandung dari almarhum Pramoedya Ananta Toer saat di dalam penjara selama 6 tahun.

Blora, Jelajahnusantara.co – Pada tahun 1973 lalu, Soes pulang ke Tanah Air tercinta. Saat tiba di bandara Jakarta, tiba-tiba dia ditangkap polisi dan dijebloskan di penjara.
Bukannya mengabdi kepada negara, Soes kini justru harus melewati masa suram di balik jeruji besi. Tanpa dasar hukum yang jelas, kekacauan situasi politik peralihan Orde Lama ke Orde Baru menyasar Soes.
Soes dituding sebagai antek komunis hanya karena dia lulus dari jurusan politik dan ekonomi di Rusia. Jurusan yang ditekuni disebut masuk garis merah yang membahayakan negara. Apalagi, dia adalah adik dari Pramoedya Ananta Toer yang lebih dulu dituding komunis.

Karya-karya Pramoedya merupakan pukulan telak bagi Belanda. Naskahnya yang nasionalis dianggap memelopori masyarakat Indonesia menjegal Belanda. Karena dinilai membangkang Belanda.
Pada masa Orde Baru, karya-karya Pramoedya dalam tulisannya dianggap berpihak kepada PKI. Pramoedya mendekam penjara 4 tahun di Nusakambangan dan 10 tahun di Pulau Buru. Karna banyak tokoh yang merasa tersudutkan dengan peran Pramoedya pada saat itu.

“Hanya saya yang ditangkap saat turun dari pesawat. Sedangkan puluhan orang lolos karena posisi bidangnya dianggap negara aman. Sebut saja ilmuwan, dokter, insinyur, dan lain-lain. Apakah karena Mas Pram yang lebih dulu dituding komunis. Setahu saya, Mas Pram itu PNI, bukan PKI. Saya itu murni belajar, ingin kaya. Saya memahami apa itu Marxisme-Leninisme, tapi bukan berarti saya terlibat di dalamnya,” ungkap Soes saat di jumpai di kediaman masa kecil Pram di Blora, Jawa Tengah, Jumat (7/6/2019).
Masih teringat betul, Ketika saat di Moskow sebelum kembali ke Indonesia, Kedutaan Indonesia di Moskow menggelar pengajian untuk mendoakan para korban keganasan PKI. Dia tidak hadir karena dia merasa tak mendapatkan undangan. Namun, dia menduga, akibatnya dia dinilai terlibat PKI.

“Saya heran, kan tidak diundang jadi saya tidak tahu jika ada tahlilan. Malah dituding PKI. Saya wajib lapor di Rusia. Saya itu tidak suka politik. Saya hanya ingin belajar, kerja, dan kaya,” ungkapnya.
Tanpa pengadilan dan pembuktian atas kesalahannya, pada tahun 1978, Soes akhirnya keluar dari tahanan politik masa Orde Baru. Soes lantas menetap di Jakarta dan kembali ke Blora.

Kini beliau ingin meratapi nasib menjadi pemulung meski menyandang gelar doktor dari Rusia penyandang gelar master jebolan University Patrice Lumumba dan doktor bidang politik dan ekonomi dari Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov Uni Soviet. Soes terus bersemangat memunguti barang-barang bekas yang masih bernilai jual di kampung kelahirannya di Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Penulis: Budi w
Foto: Budi w/Sugito Arpenk
Sumber: berbagai sumber