JELAJAH NUSANTARA – Di sebuah desa pesisir Sumatera Barat, Malin Kundang tumbuh sebagai anak tunggal yang dibesarkan oleh ibunya, Mande Rubayah. Kehidupan mereka penuh dengan kesederhanaan dan tantangan, namun hubungan antara Malin dan ibunya selalu erat. Ketika dewasa, Malin memutuskan untuk merantau dan mencoba peruntungannya di tanah lain, bertekad mengubah nasib keluarganya.

Bertahun-tahun kemudian, Malin kembali ke desanya dengan kapal besar dan kekayaan yang melimpah. Ia menjadi seorang pedagang sukses, dihormati oleh banyak orang. Dengan penuh harapan, ia berlabuh di pantai desanya untuk bertemu ibunya dan membalas budi atas segala perjuangannya. Namun, Malin mendapati sesuatu yang mengejutkan.

Ketika Malin tiba di rumahnya, ia melihat ibunya, Mande Rubayah, tengah bersama seorang pria asing. Pria itu jauh lebih muda dari Mande, dan seketika, Malin merasakan firasat buruk. Pria itu tampak mengenakan pakaian mahal yang jelas-jelas tidak sesuai dengan keadaan desa mereka. Malin merasa aneh karena ibunya tidak pernah membicarakan pria tersebut dalam surat-surat yang dikirimkannya selama ini.

Ternyata, pria itu adalah pacar baru Mande Rubayah, seorang pendatang yang dikenal dengan nama Bagindo. Namun, Bagindo tidaklah seperti yang terlihat. Diam-diam, ia hanya memanfaatkan Mande untuk mengakses kekayaan Malin. Pria itu mengetahui bahwa Malin telah menjadi orang kaya dan melihat Mande sebagai jalan pintas untuk menikmati harta tersebut.

Melihat ibunya terperdaya oleh pria yang hanya ingin mengambil kekayaannya, Malin merasa marah besar. Ia mencoba memperingatkan ibunya bahwa Bagindo tidak tulus, namun Mande yang sudah terlanjur jatuh hati tak mendengarkan nasihat Malin. Sebaliknya, ia justru menuduh Malin sombong karena kekayaannya, mengira bahwa Malin tidak ingin berbagi harta yang diperolehnya dengan susah payah.

BACA JUGA  Perjuangan Di Kampung 1001 Malam Surabaya Belum Berakhir

Pertengkaran antara ibu dan anak pun tak terhindarkan. Malin menuduh ibunya telah berubah dan menjadi buta oleh cinta terhadap pria yang hanya ingin memanfaatkan harta mereka. Mande, yang tersulut emosinya, merasa dipermalukan di hadapan pacarnya dan membalas dengan kata-kata yang menyakitkan. Ia menuduh Malin tidak berbakti dan lupa akan asal-usulnya.

Marah dan kecewa, Malin pergi dari rumah ibunya, merasa tak lagi diinginkan. Di tengah amarahnya, Malin meninggalkan desanya dengan kapal megahnya. Namun, sebelum ia berlayar jauh, badai besar menghantam lautan, seolah alam turut murka atas konflik yang terjadi. Dalam beberapa versi cerita, Malin dikutuk menjadi batu, tetapi di sisi lain cerita ini, nasibnya jauh lebih tragis—Malin tenggelam dalam amarah dan penyesalan, harta yang telah ia perjuangkan begitu keras sia-sia, dan hubungannya dengan ibunya hancur selamanya.

Mande Rubayah, yang kemudian menyadari kesalahan dan kebutaan emosinya terhadap Bagindo, akhirnya hidup dalam penyesalan. Pria yang ia percaya mencintainya akhirnya menghilang, membawa sebagian harta Malin dan meninggalkan Mande dalam kesepian yang mendalam.

Sisi lain dari kisah Malin Kundang ini menunjukkan bahwa konflik keluarga tak selalu sesederhana anak yang durhaka. Terkadang, orang tua pun bisa tersesat oleh perasaan dan keputusan yang salah. Harta dan kekayaan, yang awalnya diharapkan bisa memperbaiki hidup, justru menjadi sumber kehancuran ketika cinta, kepercayaan, dan kesetiaan mulai dipertanyakan.

Penulis: Budi
Foto Ilustrasi
Sumber: Dari Berbagai Sumber